Diawal kemunculannya, Pemilu terbuka adalah harapan perubahan, perbaikan sistem pemerintahan, untuk menegakkan tatanan demokrasi (kedaulatan rakyat), dan berfungsi sebagai alat menyehatkan serta menyempurnakan demokrasi, Indonesia mulai mengenal pemilu terbuka sejak tahun 2004, dimana masyarakat dapat memilih secara langsung pemimpin mereka dari berbagai tingkatan pemerintahan, dari presiden hingga Kepala Desa, serta memilih secara langsung wakil-wakilnya di parlemen. Dengan segala macam kelebihan yang ditawarkan, akhir-akhir ini efek negatif dari sistem pemilu terbuka ini mulai terasa.
MERUSAK SILATURAHMI
Masyarakat Indonesia dikenal dengan keramah-tamahannya. Dengan kemajemukan budaya, suku, dan bahasa, masyarakat Indonesia mampu hidup rukun dan melalui berbagai cobaan perpecahan. Silaturahmi adalah bagian dari kerukunan tersebut. Saling mengunjungi, Saling menyapa, adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Di kota besar, mungkin kebiasaan ini sudah mulai memudar, tetapi dimasyarakat pedesaan ataupun didaerah sekitar perkotaan, silaturahmi adalah bunga kehidupan masyarakat. Kebiasaan untuk berkumpul dan bercerita dapat ditemui diberbagai wilayah nusantara.
Saat ini, kebiasaan tersebut mulai memudar, tidak hanya dikota besar tetap telah sampai kepedasaan. Orang mulai terpecah-pecah, perbedaan pilihan politik dibawa sampai ke rumah, sampai ke kehidupan bertetangga. Tidak jarang tetanga ribut hanya karena perbedaan pilihan politik.
MENIMBULKAN KERESAHAN
Untuk mencapai tujuan politik yaitu kekuasaan, terkadang segala macam cara dilakukan, mulai dari politik uang sampai kampanye hitam. Menyebarkan propaganda, desas-desus, fitnah dan segala macam hal negatif lain. Hal ini menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Masyarakat indonesia yang majemuk menjadi saling tidak percaya, saling tuding, saling serang pendapat.
Setiap masyarakat berkumpul, akan menjadi sasaran fitnah, walaupun dengan tujuan perbaikan dan pembangunan masyarakat. Mereka akan dituding membawa agenda dari kelompok tertentu. Hal ini akhirnya akan membuat perbaikan dan pembangunan baik fisik maupun kehidupan sosial masyarakat akan terhambat dan tidak berkembang.
MENIMBULKAN KONFLIK
Konflik yang timbul akibat pemilu sudah tak terhitung. Hal ini bisa jadi adalah puncak dari rusaknya persaudaraan dan propaganda yang timbul. Kedewasaan berpolitik sebenarnya menjadi kunci menangani persoalan ini. Tetapi Keserakahan, ketamakan akan kekuasaan akan mengabaikan biaya yang timbul baik materi maupun immaterial. Sistem pemilu saat ini memperlihatkan bahwa pemenang mendapatkan segalanya “the winner takes it all” menjadi hadiah menggiurkan dan harus dikejar dengan cara apapun.
Karena biaya politik besar telah dikorbankan, kontestan dalam pemilu terkadang tidak bisa menerima kekalahan. Ketidakmampuan mengelola kekalahan inilah yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Merasa diri benar dan pihak lain salah, merasa dicurangi, dan lain-lain. Pengikut-pengikutnya akan dengan mudah tersulut dan terjadilah konflik.
MERUSAK POLA PIKIR MASAYARAKAT
Hal ini sangat terasa dalam masyarakat, khusunya dipedesaan. Tidak ada topik pembicaraan lain setiap hari dan setiap kesempatan selain Pemilu, Pilpres, Pemilihan Anggota Dewan, Pilkada Gubernur, Pilkada Bupati, Pilkades. Tidak ada lagi yang memikirkan pekerjaan bagaimana menjadi lebih baik. Seakan-akan kemenangan dalam pemilu adalah solusi perbaikan bagi ekonomi mereka.
Jika diperhatikan, mereka tidak mendapatkan apa-apa dari pemilu selain harapan kosong. menjadi pion perjuangan kemudian dilupakan.
Selain dimasyarakat secara langsung, pola ini dapat tergambar di media sosial. Pembahasan akan berputar dimasalah politik dan berujung pada perdebatan tidak sehat yang saling menghakimi.
Posisi politik saat ini sudah menjadi tujuan, memberikan impian kekuasaan instan kepada para pemuda. Mereka berlomba-lomba untuk ambil bagian. Posisi politik bukan menjadi tujuan hidup untuk pengabdian tetapi menjadi jalan hidup dan sumber penghidupan.