Kriminal Tanpa Sadar


NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM

Implementasi Negara Republik Indonesia menjadi Negara Hukum memiliki hambatan yang sangat berat, ketidaktahuan masyarakat tentang hukum, aturan perundang-undangan yang belum lengkap sampai kepada aparat hukum yang belum profesional dalam menjalankan tugasnya menjadi duri penghambat yang sangat sulit untuk dihilangkan.

Hampir 20 tahun negeri ini berbenah, walaupun telah dilakukan reformasi konstituonal secara besar-besaran, UUD 1945 yang sebelumnya hanya mencakup 71 butir ketentuan telah menjadi 199 butir, tapi kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat belum mendapatkan kepastian penegakan hukum dan perlindungan HAM dinegerinya sendiri.

Prof Dr Jimly Asshiddiqie menyoroti dalam bukunya Menuju Negara Hukum Yang Demokratis

bahwa salah satu hambatan penegakan hukum di Indonesia adalah kurang dekatnya masyarakat dengan konstitusinya. Masyarakat Indonesia sebatas mengenal bahwa konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tapi tidak mengenal isi dan apa yang diatur didalamnya.

Masalah tersebut sangat erat kaitannya dengan kecenderungan pemegang kekuasaan yang terlalu mencurahkan perhatiaan pada kegiatan pembuatan hukum (law making) dengan mewarisi tradisi hukum benua eropa (civil law) tetapi kurang memberikan perhatian terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bahkan, kita dengan begitu saja menganut paradigma dan dokrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law yaitu teori fictie.

TEORI FICTIE

Teori ini ini menyebutkan bahwa ketika sebuah Undang-undang diundangkan maka seluruh masyarakat dianggap telah mengetahui. Kondisi geografis indonesia sangat tidak mendukung teori ini.

Bagaimana mungkin masyarakat yang berada di Lembah Baliem (Papua), Mentawai ( Sumbar), suku Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan dianggap sama pengetahuannya tentang hukum dengan masyarakat yang ada di Jakarta. Jangankan di Lembah Baliem, dipelosok pulau Jawa pun belum tentu mengetahui tentang undang-undang tersebut.

Hal ini sangat ironis karena selain toeri itu terdapat teori persamaan dihadapan hukum (equality before the law) yang memandang bahwa setiap orang memilik kedudukan yang sama dimuka hukum sehingga harus diperlakukan sama antara satu dengan yang lain.

Teori fictie memang sifatnya hayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejaahteraan dan pengetaahuan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fictie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris.

Tetapi di negara yang demikian luas wilayahnya begitu pula banyak jumlah penduduknya serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikannya seperti indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum tidaklah memadai. Tidaklah adil memaksakan berlakunya suatu norma hukum kepada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan kepadanya.

Jika terjadi proses kriminalisasi, sudah barang tentu seseorang akan menjadi kriminal tanpa disadarinya.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s