Hari ini aku duduk berhadapan dengan anak perempuanku dengan buku yang berserakan diatas meja. Berusaha menemaninya memahami sebuah teori dasar matematika yang seakan tak masuk dalam alam pemikirannya. Dalam pengulangan angka-angka, pikiranku terbang ke awal tahun pertama duduk dibangku sekolah menengah atas atau SMA. Saat itu, istilah catur wulan masih dikenal untuk memisahkan setiap periode pembelajaran.
Sudah menjadi rutinitas awal di catur wulan (keliatan jadulnya) pertama bagi siswa baru untuk menghadapi ulangan harian setiap dua pekan. Sebuah proses pengenalan pola belajar disekolah yang disebut sebagai salah satu SMA terbaik dipulau ini. Fisika dan Matematika adalah dua mata pelajaran yang menjadi legenda dalam setiap pelaksanaan ulangan harian bagi siswa baru.
Fisika akan selalu dibarengi dengan uraian air mata saat pembagian hasil ulangan harian. Bagaimana tidak, siswa yang terbiasa dengan nilai mendekati angka 10 harus menerima kenyataan hasil ulangan disekitar angka 5. Hasil ulangan yang mengecawakan ini ternyata membawa kebahagiaan bagi guru kami, tawa dan senyumnya tak pernah lepas melihat linangan air mata para siswi.
Matematika juga tak kalah heboh dibandingkan Fisika. Prinsip guru yang merasa rugi jika level soalnya sama dengan buku pegangan adalah cerita turun temurun dari para senior. Bapak guru yang matanya agak kemerahan ketika akan mengajar, bukan karenya penyakit mata tapi karena efek begadang nonton liga champion
Angka 5 juga menjadi hadiah perkenalan bagiku di dua mata pelajaran legenda. Walaupun tak diiringi jatuhnya air mata, ada rasa yang campur aduk dalam hati. Kecewa, takut, khawatir sert penasaran bercampur dalam senyum pahit saat menerima kertas hasil penilaian fisika.
Berbeda dengan fisika yang dapat aku perbaiki saat remedial walaupun dengan hasil yang tetap jauh dari angka sempurna, matematika memiliki kisah berbeda yang saat ini aku rangkai dalam puzzle kelemahan dan kelebihan.
Hasil ulangan harian pertama matematika bernilai 5 yang kemudian meningkat satu digit saat diberi kesempatan remedial. Angka 6 masih dibawah batas kelulusan sehingga kembali harus mengikuti ujian perbaikan dengan hasil yang fantastis dengan nilai 4.
Hasil ulangan pertama matematika dan perbaikan-perbaikannya sebenarnya telah memberikan gambaran kemampuan matematika yang kumiliki jika dipikirkan dengan sudut pandang saat ini. Namun, saat itu tak terbayang dalam diriku akan kekurangan yang kumiliki.
Dalam sebuah kesempatan, aku bahkan membeli sebuah buku kalkulus berwarna putih dengan harga yang cukup mahal bagi orang tuaku saat itu. Sebuah buku yang tak dapat kupahami dan menjadi penghias meja belajar.
Walaupun dapat bertahan menghadapi ujian-ujian matematika berikutnya, gambaran hasilnya tidak dapat disebut bagus. Hanya sebatas cukup melewati ambang batas termasuk dalam ujian akhir nasional di tahun terakhir yang nilainya tak mencapai 5.
Apakah aku bodoh?sepertinya tidak, walaupun tak dapat disebut jenius tapi aku masih dapat mengakhiri ujian akhir di posisi ketiga terbaik. Posisi itu adalah posisi terendahku dalam 3 tahun berseragam putih abu-abu.
Jika menggunakan sudut pandang saat ini, kekurangan dalam mata pelajaran matematika yang tidak kusadari adalah faktor penyebab ketidaklulusanku disalah satu perguruan tinggi favorit di Pulau Jawa.
Berbanding terbalik dengan matematika, aku masih dapat mengingat dengan jelas guru sejarah membawakan materi tanpa melihat buku panduan. Aku masih dapat membayangkan gambaran lempeng benua dalam salah satu bab geografi kelas 2. Aku masih dapat mengingat walaupun samar tokoh-tokoh dalam bidang kimia dan teorinya.
Saat puzzle matematika mulai terangkai, aku menyadari kesulitan menghapal nomor handphone bukan hal baru dalam hidupku tapi sudah berlangsung lama dalam angka-angka yang lain.
Namun, rangkaian puzzle matematika yang telah terbentuk juga menyadarkanku tentang adaptasi dan kerja keras yang telah kujalani untuk dapat bertahan. Hal inilah yang memba bawaku pada kondisi saat ini, pantang untuk menyerah. Aku tak menjadi hebat dalam matematika tapi sulitnya matematika tidak memundurkan langkahku
Masalahku dengan matematika bukan berarti gambaran kekurangan anak perempuanku saat ini, tapi menjadi bagian pertimbangan dalam mengarahkannya. Kelambatannya dalam mencerna angka bukan berarti tanda harus mengibarkan bendera putih. Ia tetap harus bekerja keras dan berusaha membekali dirinya dengan pengetahuan dasar tersebut
Semangat untuk mengembangkan diri dan tetap melakukannya, sekalipun (atau khususnya) ketika keadaan tidak berjalan dengan baik, merupakan tanda mindset tumbuh. Mindset inilah yang memungkinkan orang-orang untuk berkembang ketika mengalami masa-masa paling menantang dalam hidupnya 1)
Disisi lain, akupun mencoba memberi alternatif dengan mengarahkan untuk banyak membaca hal-hal yang tidak berhubungan dengan angka. Mengajaknya memilih buku bacaan sendiri.
Aku ingin melihatnya berkembang dan menemukan kelebihan dalam dirinya tanpa menyerah pada kekurangannya.
Menurut Robert Sternberg 2), faktor terpenting yang menetukan bagaimana seseorang mencapai keahlian tertentu bukanlah kemampuan yang sudah melekat sebelumnya, melainkan kerja keras dengan maksud yang jelas.
Kelemahan tidak diciptakan untuk diratapi tetapi diterima sebagai bagian diri yang harus dikuatkan. Penguatan bukan untuk mengubah kekurangan menjadi kelebihan tapi untuk mengasah diri menjadi lebih baik.